Adat Adat Istiadat Masyarakat Banyumas
Kabupaten
Banyumas (bahasa Jawa Banyumasan: ꦨꦚꦸꦩꦱ꧀)
adalah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya
adalah Purwokerto. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten
Brebes di utara yaitu Kabupaten Purbalingga, Kabupaten
Banjarnegara, dan Kabupaten Kebumen di timur serta Kabupaten
Cilacap di sebelah selatan dan barat. Gunung Slamet, gunung tertinggi
di Jawa Tengah terdapat di ujung utara wilayah kabupaten ini. Budaya Banyumasan memiliki
ciri khas tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah, walaupun
akarnya masih merupakan budaya Jawa.
Dalam
kehidupan masyarakat Banyumasan, masih ada anggapan bahwa alam memiliki kekuatan
yang dapat memberikan pengaruh bagi kehidupan mereka baik pengaruh positif
maupun pengaruh negatif. Oleh karena itu manusia melakukan pendekatan atau
berkomunikasi dengan alam dengan melakukan sesaji, sesembahan, ritual-ritual,
dan lain-lain dengan harapan alam bermurah hati memberi kesempatan kepada
mereka untuk hidup lestari. Dalam rangka pendekatan tersebut manusia seringkali
menggunakan media kesenian dalam upacara-upacara untuk mencapai tujuannya.
Melalui
aktivitas seni inilah masyarakat Banyumasan melakukan ritual-ritual
tertentu yang bermakna sebagai bentuk persembahan seluruh jiwa dan raga
terhadap Sang Pencipta. Salah satu jenis kesenian yang keberadaannya berkaitan
langsung dengan ritual tradisional adalah:
1. Cowongan
Cowongan adalah salah satu jenis ritual atau
upacara minta hujan yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas lan
sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, permintaan datangnya hujan
melalui cowongan, dilakukan dengan bantuan bidadari, Dewi Sri yang merupakan
dewi padi, lambang kemakmuran lan kesejahteraan. Melalui doa-doa yang dilakukan
penuh keyakinan, Dewi Sri akan datang melalui lengkung bianglala (pelangi)
menuju ke bumi untuk menurunkan hujan. Datangnya hujan berarti datangnya
rakhmat Illahi yang menjadi sumber hidup bagi seluruh makhluk bumi, termasuk
manusia. Dilihat dari asal katanya, cowongan berasal dari kata “cowong”
ditambah akhiran “an” yang dalam bahasa Jawa Banyumasan dapat disejajarkan
dengan kata perong, cemong, atau therok yang diartikan berlepotan di bagian
wajah (M. Koderi & Fadjar P. 1991:47). Perong, cemong, lan therok lebih bersifat
pasif (tidak sengaja), sedangkan cowongan lebih bersifat aktif (disengaja).
Jadi cowongan dapat diartikan
sesuatu yang dengan sengaja dilakukan seseorang untuk menghias wajah. Wajah yang
dimaksud adalah wajah irus yang dihias sedemikian rupa agar menyerupai manusia
(boneka). Salah satu daerah yang
hingga saat ini masih melaksanakan ritual cowongan pada setiap kemarau panjang
adalah masyarakat di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas. Sebagian
besar masyarakat di desa Plana bermata pencaharian sebagai petani. Lahan-lahan yang
digarap meliputi lahan basah atau sawah, lahan kering berupa tegalan, serta
tanah tadah hujan sehingga saat musim kemarau datang lahan ini sangat kering
lan petani tidak dapat menggarap sawah mereka. Masyarakat di desa ini masih
percaya, melalui ritual cowongan maka akan segera turun hujan yang sangat
berguna agar sumur-sumur lan sumber mata air keluar lagi airnya, sawah lan
lalang tidak lagi tandus, lan berbagai tanaman bersemi kembali bagi
kelangsungan hidup mereka.
Cowongan dilaksanakan hanya pada saat terjadi kemarau panjang.
Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir Mangsa Kapat (hitungan masa
dalam kalender Jawa) atau sekitar bulan September. Pelaksanaannya pada tiap
malam Jumat, dimulai pada malam Jumat Kliwon. Dalam tradisi masyarakat
Banyumas, cowongan dilakukan dalam hitungan ganjil misalnya satu kali, tiga
kali, lima kali atau tujuh kali. Apabila sekali dilaksanakan cowongan belum
turun hujan maka dilaksanakan tiga kali. Jika dilaksanakan tiga kali belum
turun hujan maka dilaksanakan sebanyak lima kali. Demikian seterusnya hingga
turun hujan. Cowongan hingga saat ini masih dapat dijumpai di Desa Plana, Kecamatan
Somagede.
Cowongan adalah suatu sarana untuk mengungkapkan keinginin
masyarakat akan turunnya hujan. Sebagai komunitas petani tradisonal, masyarakat
yang bermukim di desa Plana tentu saja sangat membutuhkan datangnya hujan untuk
mengairi sawah yang menjadi sumber penghidupan. Apabila musim kemarau terlalu
panjang akibat yang segera dapat dirasakan adalah penderitaan yang diakibatkan
oleh kekeringan. Dengan melihat lebih jauh mengenai pelaksanaan cowongan, maka
dapat diperoleh gambaran bahwa dalam peaksanaan cowongan terdapat 2 hal penting
yaitu aktivitas seni lan bentuk ritual tradisionalyang menjadi sarana
komunikasi antara manusia dengan alam yang bertujuan untuk mendatangkan hujan.
Disebut sebagai aktivitas seni karena didalamnya terdapat syair-syair yang
tidak lain adalah doa-doa yang dilakukan dalam bentuk tembang, irus atau siwur yang
menjadi properti upacara yang dihias menyerupai seorang putri. Doa-doa tersebut
ditujukan kepada sang penguasa alam agar hujan segera turun. Disebut sebagai ritual
tradisional karena di dalamnya terdapat sesaji-sesaji, properti-properti,
rialat lan doa-doa yang kesemuanya ditujukan sebagai suatu permohonan kepada
penguasa seluruh alam agar segera menurunkan hujan. Motivasi mereka untuk
melakukan upacara tersebut karena manusia (masyarakat) menghormati alanya
makhluk-makhluk halus yang telah membantu, memberi keselamatan lan kepuasan
keagamaan.
Keunikan Cowongan :
1.
Pertunjukan
cowongan sebagai bentuk permainan rakyat jawa.
Menurut Koentjaraningrat yang
dikutip oleh Parwatri, permainan adalah kegiatan manusia untuk menyegarkan jiwa
serta mengisi waktu (Koentjaraningrat, dkk, 1984:145 dalam Parwatri 1993:12).
Permainan cowongan merupakan permainan nyanyian yang menggunakan properti irus
(boneka) sebagai nini cowong, yang dalam hal ini dikatagorikan sebagai
permainan gaib atau permainan ritualmagis cowongan. Permainan ini bersifat
sakral, karena merupakan bentukupacara minta hujan yang disertai dengan
pertunjukan atau permainan cowongan.
2.
Cowongan
merupakan pertunjukan ritual.
Ciri ritual pertunjukan cowongan
dalam upacara minta hujan tercermin dalam :
a. dilaksanakan
pada malam Jumat Kliwon.
b. tempat
yang digunakan khusus yaitu teras (bagian rumah paling depan).
c. pelakunya
semua wanita yang dalam kadaan suci.
d. ada
perlengkapan sesaji.
3. Pertunjukan cowongan sebagai
bentuk upacara untuk mendatangkan kekuatan magis, yang
tercermin dalam :
a. syair-syair
lagu yang dinyanyikan oleh pelaku cowongan merupakan doa (mantra).
b. dukun
(sesepuh cowongan) mengucapkan mantra yang disertai dengan tindakan membakar
kemenyanyang ditujukan kepada leluatan-kekuatn supranatural agar membantu
kelancaran pertunjukan tanpa halangan apapun.
4.
Pertunjukan
cowongan merupakan adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat desa Plana
pada waktu kemarau panjang.
Adat kebiasaan tersebut
dilakukan secara turun temurun yang tidak dapat diganti oleh apapun lan selalu
dihormati serta ditaati.
5.
Pertunjukan
cowongan mengandung aspek estetis.
Hal ini tercermin dalam syair
tembang yang dilagukan lan rias busananya. Kehadiran cowongan tidak tergatung
pada penonton seperti yang dikatakan Pariyem “ Ajenga mboten wonten yang
nonton, nggih tetep diterasaken. Mangke menawi mandeg yang sami nglampahi
kenging bebendu saking yang njampangi (sekalipun tidak ada yang menonton, ya
tetap diteruskan. Nanti kalau berhenti para pelakunya terkena hukuman dari yang
melindungi).
2. Ujungan
Ujungan
merupakan tradisi upacara adat Banyumasan (Kabupaten Banjarnegara) yang hampir
sama dengan Cowongan, hanya saja acara ritualnya sedikit berbeda karena
perbedaan letak geografis juga masyarakatnya, dimana tujuannya adalah untuk
meminta hujan yang telah berumur lama tidak kunjung turun, sehingga melembaga
dalam kehidupan masyarakat. Dalam tradisi ini, dua orang laki-laki dewasa
berkelahi saling menyerang dengan sepotong kayu (Rotan). Darah pun akan menetes
membasahi tanah sawah. Dengan tradisi ini diharapkan hujan akan segera turun.
Upacara ini
muncul dalam kultural masyarakat agraris di daerah Banyumas. Air pada saat
musim kemarau, selalu menjadi rebutan petani bahkan sampai menyulut
perkelahian. Hal ini tentu saja bisa mendatangkan kerawanan, sehingga membuat
prihatin pemimpin desa. Dari keprihatinan ini muncul “petunjuk” untuk
mengadakan Ujungan. Dalam upacara Ujungan, prosesi yang penting adalah
selamatan dan ziarah ke makam Ki Ageng Giring dan demang pertama Gumelem. Di
tempat itu dilakukan doa agar acara Ujungan keesokan harinya berjalan lancar,
hujan segera turun dan kerukunan masyarakat (petani) tetap terjaga.
Upacara yang
pada awalnya bersifat ritual magis ini, dalam perkembangannya telah mengalami
perubahan. Pada awalnya perkelahian bersifat spontan. Kemudian diatur, antara
lain dengan melibatkan wasit, anggota tubuh mana saja yang boleh dipukul,
pakaian dan pelindung tubuh yang dipakai, dan lain-lain. Bahkan dalam
perkembangan lebih lanjut Ujungan bisa dijadikan atraksi budaya. Artinya bisa
dilakukan kapan saja sepanjang ada permintaan. Sehingga ada dua macam Ujungan
yaitu:
1.
Ujungan yang bersifat sakral (untuk meminta
hujan)
2.
Ujungan sebagai pertunjukan.
Keunikan Ujungan :
1. Adanya
sikap menjunjung tinggi nilai sportivitas, persaudaraan, rasa nasionalisme, dan
semangat patriotisme sebagai generasi penerus bangsa.
2. Ritual ini
menggabungkan tiga jenis unsur seni, yaitu seni musik (sampyong), seni
tari-silat (uncul), dan seni bela diri tongkat (ujungan).
3. Udhun-udhunan
Udhun-udhunan,
yaitu upacara selamatan yang dilaksanakan pada setiap bulan Syawal di Makam
Bonokeling, desa pekuncen, kecamatan jatilawang.
4. Unggah-unggahan
Unggah-unggahan,
yaitu upacara selamatan yang dilaksanakan pada setiap hari jumat kliwon pada
bulan Ruwah bertempat Makam Bonokeling, desa Pekuncen, kecamatan Jatilawang.
5. Baritan
Baritan, yaitu
upacara keselamatan ternak yang dilaksanakn setiap bulan sura di daerah
Ajibarang dan sekitarnya melalui pementasan kesenian lengger.
6. Penjamasan Pusaka
Penjamasan
Pusaka, di daertah Banyumas ada 2 tempat yang melaksanakan upacara penjamasan
pusaka, yaitu di desa Kalibening kec.Banyumas, dan sesa Kalisalak kec. Kebasen.
Penjamasan Pusaka dilakukan tiap 12 Mulud dalam hitungan aboge.
7. Rajaban &
Pembuatan Pager Jaro
Rajaban & Pembuatan Pager Jaro di masjid Saka Tunggal Cikakak
Wangon, dilakukan prosesi pembuatan pager jaro yang mengelilingi seluruh
kompleks masjid, dilaksanakan setiap tanggal 27 Rajab dalam hitungan aboge,
mundur satu hari dari hitungan tahun Hijriyah. Bambu
dibawa secara sukarela oleh penduduk setempat kemudian dibuat bahan jaro
(pagar) dan sebelum dipasang dicuci dengan air sungai yang ada di sekitar
kompleks makam.
8. Suran
Hampir semua
masyarakat Banyumas mengenal upacara Suran. Yaitu upacara tradisional sedekah
bumi yang ditujukan untuk tujuan Tolak Bala dengan cara bermacam-macam seperti
ruwat bumi, upacara selamatan dimakam leluhur & lain-lain.
Upacara ini
dilaksanakan pada Bulan Syura biasanya didahului dengan prosesi kirap hasil
bumi berupa ketela pohon, padi, jagung, dll. Dilengkapi pula dengan tumpeng
Panca Warna , Sanggabuana, Robyong dan Kuat, setelah tumpeng dikepung (makan
bersama). Dilaksanakan di Desa Ketenger Baturraden. Untuk Daerah Sokaraja ada
tambahan tumpeng uceng.
9. Sadranan
Sadranan,
sebagaimana Suran hampir semua masyarakat Banyumas mengenal Sadranan, yaitu
prosesi bersih kuburan yang dilanjutkan dengan kenduren. Sadranan adalah suatu
bentuk upacara mengenang arwah leluhur dengan cara membersihkan makamnya
menjelang pelaksanaan pelaksanaan puasa di Bulan Ramadhan.
Banyumas memiliki beragam adat istiadat yang masih dilakukan sampai saat ini. Namun sayangnya seiring berkembangnya jaman, tak banyak anak muda yang turut berpartisipasi dalam acara-acara adat yang diselenggarakan. Kebanyakan diantaranya hanya ikut meramaikan saja tanpa memahami filosofi dan makna acara adat tersebut. Sebagai pemuda pemudi bansa yang baik seharusnya anak muda lebih mendalami makna suatu acara adat yang berlaku didaerahnya dan turut melestarikannya :)
Banyumas memiliki beragam adat istiadat yang masih dilakukan sampai saat ini. Namun sayangnya seiring berkembangnya jaman, tak banyak anak muda yang turut berpartisipasi dalam acara-acara adat yang diselenggarakan. Kebanyakan diantaranya hanya ikut meramaikan saja tanpa memahami filosofi dan makna acara adat tersebut. Sebagai pemuda pemudi bansa yang baik seharusnya anak muda lebih mendalami makna suatu acara adat yang berlaku didaerahnya dan turut melestarikannya :)
Sumber referensi :
Komentar
Posting Komentar